Sunday, January 3, 2010

Militansi dari sisi budaya Jawa


Militansi memiliki arti disiplin, tangguh, rela berkorban,
serta semangat juang yang tak pernah pudar, memang
sangat dibutuhkan dalam setiap bentuk perjuangan. Proses
perjuangan yang mencapai tujuan sangat ditentukan
dan tergantung pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang
menggerakkan seluruh rangkaian proses tersebut.
SDM yang penuh daya juang, mempunyai semangat tinggi
pantang menyerah, serta berdaya upaya kreatif dan inovasi
untuk mencapai tujuan. Sebaliknya SDM dengan mental
yang lembek, tidak mempunyai motivasi, pasif dan mudah
menyerah.
Militansi yang digambarkan di atas tidak akan tumbuh dalam
jiwa yang kosong atau jiwa yang keropos, namun hanya
dapat terbangun dalam jiwa yang tangguh, tegar, serta teguh
dalam memegang prinsip yang diyakini.
Di dalam kesusasteraan jawa, keteladanan akan “Militansi”
dapat kita temukan dalam berbagai karya sastra. “Serat
Tripama” karya KGPAA. Mangkunegara IV adalah salah
satunya. Dalam karya ini dituturkan Militansi dalam bentuk
sifat-sifat ksatria berikut ini:
Patih Suwanda (Bambang Sumantri)
patih kerajaan Maespati : rela berkorban, tidak goyah
karena rintangan.
Patih Suwanda memiliki tiga modal, yaitu guna
(kebisaan, ketrampilan), kaya (hasil, kinerja), purun
(kemauan, tekad). Pengabdiannya tidak luntur oleh
pesona duniawi hasil rampasan perang yang berupa
harta dan wanita. Tidak tamak dan tidak korup untuk
menguasai sebagian keduniawian itu. Semua yang
dilakukannya hanya demi bangsa dan negara. Bahkan
nyawanya sendiripun dipertaruhkan dan tetap berlaga
sampai titik darah penghabisan
Kumbakarna (adik Dasamuka) yang Cinta Tanah
Air.
Berwajah raksasa tetapi berhati ksatria, yang hidup
di negara yang dipimpin oleh seorang angkara murka
(Prabu Dasamuka). Sifat ksatria tampak ketika harus
berlaga, bukan demi kakaknya yang angkara murka
namun demi mempertahankan bangsa dan negara yang
sedang diserang musuh. Ia gugur sebagai pahlawan di
tengah keangkaramurkaan.
Suryaputra (Adipati Karna)
Seorang ksatria harus mempunyai keteguhan hati dan tahu
membalas budi.
Ketika itu Adipati Karna dibujuk agar berpihak kepada
Pandawa karena ia saudara kandung Pandawa. Namun,
Karna teguh lebih memilih menjadi benteng dari negara yang
telah membesarkannya, akhirnya, ia menjadi pahlawan bagi
bangsa Kurawa.
Seperti halnya Kumbakarna, ia adalah mutiara di tengah
lumpur kejahatan yang menjadi sifat dari hampir semua
warga negara Astina.
Pada saat ini, nilai - nilai keteladanan yang berupa keteguhan
hati, rela berkorban, pantang menyerah, bermodalkan
ketrampilan dan kepiawaian (guna), menunjukkan kinerja
(kaya), kesediaan yang tulus (purun), ternyata masih relevan
untuk diterapkan sebagai bentuk militansi demi meraih citacita
luhur.

No comments:

Post a Comment